Jumat, 03 Agustus 2012

Mama, aku ingin sekolah



Siang itu lumayan panas, jam menunjukkan pukul  13.18 WIB. Aku berdiri menunggu lampu merah di persimpangan.  Seorang gadis kecil berlari-lari ke arahku, telanjang kaki. Kutaksir umurnya baru 7 atau 8 tahun.
“Teteh, bunganya?” katanya sambil menyodorkan beberapa rangkaian bunga mawar yang ada di tangannya.
Ngga.” Jawabku sambil berjalan melalui zebracross.
“Bunganya, teh.” Ia masih membujukku. Mengikutiku hingga sampai di tengah.
Aku memberikan lima jari (baca: menolak) kepadanya lalu kembali berjalan menuju pangkalan bus kota. Hawa panas terik itu masih terasa di dalam bus, aku memilih duduk di dekat jendela dan membukanya lebar-lebar. Penumpang masih sedikit. Di depanku ada seorang ibu duduk bersama anak kecil. “Mama, aku ingin sekolah.” Katanya dengan sedikit merengek.
“Iya, nanti kalau umur adek sudah cukup ya.” Kata ibunya.
Aku hanya tersenyum mendengarnya. Anak yang bersemangat, ibu yang baik. Semoga ia bersemangat juga nantinya ketika memasuki sekolah. Tak lama kemudian bis mulai melaju, melewati persimpangan tadi. Aku melihat anak yang menyodorkan bunga tadi dari jendela. Ia masih disana, berteduh lalu berlari-lari ke mobil-mobil menyodorkan bunga. Ia bersemangat. Semoga saja ia juga bersemangat di sekolahnya belajar, batinku.
Aku menikmati perjalanan ke Pasar Baru, sebuah pusat perbelanjaan di kotaku. Jalan kesana macet sekali terutama di dekat lampu merah lalu di daerah Pasar Baru sendiri juga macet. Pengamen naik turun mengikuti bus, lalu ada pengamen cilik bersama seorang laki-laki belia memberi hiburan dalam tengahnya macet. Anak itu bernyanyi sambil bertepuk tangan sedangkan si laki-laki tadi memainkan gitar. Suaranya cempreng, tapi ekspresinya menyanyikan lagu itu tampak sangat bersungguh-sungguh. Semoga ia juga bersungguh-sungguh dalam belajarnya, kataku dalam hati.
Macet di daerah Pasar Baru lumayan parah. Sehingga aku turun saja dan berjalan kaki sambil melihat toko-toko yang kulewati. Sesak sekali rasanya, bukan hanya mobil yang macet, pejalan kaki juga macet. Dalam suasana berdesak-desakkan itu terdengar seorang ibu berteriak, “Copet! Copet!” serentak orang-orang menoleh keasal suara itu, kemudian adegan itu diikuti dengan seorang anak laki-laki berlari kearah jalan, si ibu mengejarnya bersama beberapa orang laki-laki.
“Anak itu berbakat menjadi pelari.” Celetukku, dan ternyata di dengar oleh bapak-bapak penjual jilbab yang berdiri di sebelahku.
“Kalau dididik yang benar bisa, neng. Tapi kalau didikannya salah ya kayak gitu jadinya.” Aku hanya tersenyum mendengarnya. Kata-kata “didik” itu selalu menjadi sesuatu yang dipermasalahkan saat anak berkelakuan buruk. Masih teringat saat tetanggaku bertengkar karena anak mereka bolos sekolah seminggu. “Kamu sih,buk. Ngedidik anak itu yang bener. Jangan diikutin maunya apa. Manja kan jadinya. Lihat itu sekarang, dia yang salah bukannya minta maaf malah mengurung diri di kamar. Hasil didikan kamu itu.” Teriak suaminya dan sang istri tak mau kalah, “Lho, kok malah nyalahin ibuk, bapak itu yang tidak pernah memberi perhatian sama dia, tidak pernah mendidik dia dengan benar. Selalu dikasih, uang, uang, uang. Memangnya anak tidak butuh perhatian.” Suara itu diikuti piring pecah dan suara gonggongan anjing peliharaan mereka.
Aku berjalan kembali, melihat ke sekitar. Anak yang menjual bunga, anak yang mengamen, anak pelari, lalu anak yang tengah menawarkan tas belanjaan ke seorang ibu-ibu apa mereka sudah mendapat didikan yang benar? Apa mereka bersekolah? Apa mereka belajar? Aku kemudian menghampiri anak yang menyodorkan tas belanjaan ke ibu-ibu di depanku, ia beralih kepadaku.
“Tasnya, teh. Dua puluh lima ribu satunya.” Aku hanya mengangguk.
“Umur kamu berapa?” tanyaku sambil memilih-milih tas.
“Sebelas tahun, teh.” Katanya memegangi tas yang tengah kupilih.
“Sekolah?” tanyaku lagi, tapi kali ini melihat kearahnya.
“Ga teh, mahal. Cuma buang uang. Mending kayak gini bantuin bapak.” Aku tersentak mendengarnya. Anak sekecil ini sudah memikirkan untuk membantu bapaknya. Benar-benar terenyuh.
“tapi kalau sudah besar, sudah tamat sekolah, kan bisa bantu bapak. Uangnya juga lebih banyak.” Kataku kembali memilih tas, sengaja untuk memperlama waktu bicara.
“Butuhnya sekarang, teh. Kalau saya sekolah, adik-adik saya mau makan apa?” Lagi-lagi aku terenyuh mendengar kata-katanya.
 “Dulu saya pernah nonton TV, acara cerdas cermat. Ada pertanyaan tentang peraturan kalau orang miskin kayak saya dipelihara negara. Tapi kalau dipelihara itu bukannya dikasih makan juga ya, teh? Disayang gitu. Kok saya nggak, ya?” Oh, Pasal 34 UUD 1945 rupanya. Aku tak bisa berkata-kata mendengarnya. Mahal, buang uang, bantu bapak, untuk adik-adik. Ya Tuhan, ternyata bukan anak-anak di daerah terpencil saja yang susah untuk sekolah. Mereka yang hidup di kota besar juga susah karena himpitan ekonomi.
“Kalau ada sekolah gratis, mau belajar?” tanyaku lagi.
“Ini kan kalau teh, ya mau lah. Memangnya ada teh? Buku sama alat tulisnya dikasih juga cuma-cuma ya.” Aku hanya tersenyum. Anak ini mau belajar. Aku memberikan uang tiga puluh ribu, “Untuk adik-adik.” Kataku saat menolak kembalian yang ia berikan. Ia tersenyum, “Terimakasih, teh.”
Aku berlalu, dan pulang. Rasanya tidak ingin menghabiskan uang saku untuk membeli barang-barang yang tidak jelas. Teringat anak tadi.
Esoknya, diatas angkot aku mendengar seorang gadis kecil merengek ke ibunya, “Mak, aku mau sekolah.” Katanya, aku tersenyum mendengarnya.
“Nanti kalau sudah ada uang.” Kata ibunya. Aku terkejut mendengarnya, pertanyaan yang sama, tapi jawaban yang berbeda. Lagi-lagi ekonomi. Setelah ku perhatikan, itu anak penjual bunga kemarin.

Rabu, 23 Mei 2012

Anak Ojeg Payung


Hari itu, saya menjadi salah satu panitia dalam acara pameran beasiswa, kebetulan saya mendapat bagian menjadi LO dari perwakilan salah satu organisasi yang memberi info tentang beasiswa.Hari itu sebenarnya cerah, tapi sialnya pada sore hari mendadak hujan lebat.Saat perwakilan ini hendak pulang, kami tidak memiliki payung untuk mengantar yang bersangkutan ke kendaraannya. Kemudian seniorku, teh weni mencari payung dan hasilnya tak jauh dari kami terlihat seorang anak laki-laki berlari-lari membawa payung."Ojeg payung, teh?" tanyanya.Akhirnya kami pun memakai jasa anak tersebut. saya dan perwakilan itu di bawah payung dan anak itu hujan-hujanan mengikuti kami dibelakang. setelah mengantar perwakilan ini, banyak pertanyaan yang terlintas di benak saya tentang anak ini."Sini di bawah payung sama, teteh." kataku.Ia tak menjawab, hanya beranjak ke bawah payung dan mengikutiku kembali ke tempat acara. Dalam perjalanan itu terjadilah percakapan singkat anatara aku dan ojeg payung itu."Kamu sekolah?" Tanyaku"Iya." "Kelas berapa?""5 SD""Nilai rapornya kemaren bagus nggak?""Lumayan, ga ada yang merah, teh." Jawabnya."Wah, pintar ya. Kalo udah besar jadi apa?""Jadi pemain sepak bola, teh." Katanya sambil tersenyum."Kamu harus jadi pemain sepak bola yang hebat ya. bukan cuma hebat main sepak bola, tapi otaknya juga harus hebat. janji ya sama, teteh." "Iya, teh.""Terus, kamu harus berhasil dibanding temen kamu yang lain. kamu kan cari uang jajan sendiri, jadi dibanding teman-teman kamu yang masih minta uang sama orang tua mereka, kamu harus lebih maju. jangan sampai ini menjadi faktor kamu diam di tempat. kamu harus tetap belajar dan jadi orang sukses." Kataku sambil mengacak rambutnya. Ia tersenyum.Tak terasa kami telah kembali ke tempat acara, disana sudah ada teh weni."Oh iya, nama kamu siapa?" Tanyaku pada anak ojeg payung itu."Ilman, teh.""Teh weni, kenalin. Ini calon  pemain sepak bola. Namanya ilman." Kataku memperkenalkan ilman pada teh weni.Ilman berlalu setelah kami membayar jasa ojeg payungnya. Ada rasa iba melihat anak itu berlari-lari menawarkan ojeg payungnya sambil hujan-hujanan.Semoga dia bisa menjadi pemain sepak bola seperti yang dicita-citakannya.  

Rama (part 1)


Aku memandang gadis di depanku dengan lembut, Naya. Ia adalah orang yang bersama denganku 2 tahun terakhir ini. Kami akan segera menikah.
“Ada apa, Ram?” tanyanya.
Aku menggenggam tangannya.
“Nay, kita sudah bersama selama 2 tahun. aku tahu kau sungguh-sungguh mencintaiku. Dan aku telah mencoba untuk mencintaimu, dan masih mencoba.”
Naya menarik tangannya, memandangku dengan tatapan seolah tidak percaya. “Maaf, Nay. Tapi, aku masih belum bisa melupakan gadis yang selama ini ku cintai.” Aku melihat bulir-bulir air mata jatuh melewati pipinya. Ingin ku hentikan semua ini, tapi aku harus mengatakannya, apa pun yang terjadi, demi kebaikan ku dan Naya.
 “Aku mencintainya, Nay. Bantu aku mencintaimu.” Kataku sambil memberikan sehelai baju yang bernoda darah kepadanya. “ini...” katanya.
“aku menerimanya dari Sera.” Aku melihat ke langit sambil tersenyum.
Saat itu, aku sedang mengikuti pendaftaran di sebuah SMA favorit di daerahku, keluargaku hampir semuanya sekolah di sekolah ini, kecuali mama, beliau dari kecil di luar negeri. Om Beni, adik papa menganjurkanku masuk sekolah ini karena alasan itu, setelah aku kembali dari tempat orang tua ku di luar negeri yang pindah karena nenek ku sakit dan papa sudah pindah tugas kesana. Aku tak ingin melanjutkan sekolah disana, selain karena beberapa pelajaran berbeda dari yang ku pelajari disini, aku juga tak ingin menyibukkan orang tuaku yang sudah sibuk dengan pekerjaan dan nenek, harus bertambah dengan mengurusku, akhirnya, aku tinggal di rumah dengan om Beni. Om Beni belum menikah, karena pekerjaannya yang padat ia hampir tak punya waktu untuk mengurus wanita, pasangaan terakhirnya yang ku tahu seorang dokter muda yang lumayan cantik, tapi kata om Beni mereka berpisah karena calon tante ku itu, tidak menyukai kesibukan om Beni.
Kembali ke sekolah, karena sekolah favorite, tentu saja yang mendaftar banyak sekali. Dan saat itulah aku bertemu dengannya, ia sedang berjalan dengan temannya, melewatiku. Ia sedang tersenyum. Gadis ini, membuat jantungku berdetak, ya tentu saja selama ini jantungku berdetak, tapi detakan yang kali ini terasa ganjil, membuat aku selalu ingin melihat senyuman itu. Membuatku ingin melindungi senyuman itu. Setelah gadis itu berlalu, aku tersadar dari lamunanku karena nomor urut pendaftaranku dipanggil, aku buru-buru menyerahkan formulir pendaftaran yang telah ku isi beserta melampirkan berkas-berkas yang diperlukan.
Malamnya di kamarku, saat sedang membaca buku, tiba-tiba, tidak ada angin, tidak ada hujan, wajah gadis yang tersenyum itu muncul di benakku, lagi, jantung ku berdetak dengan aneh. Aku pun senyum-senyum sendiri. Andaikan aku lulus di sekolah itu dan bertemu dengannya lagi, aku akan mengenalnya, bagaimana pun caranya. Malam itu aku lalui dengan memikirkan berbagai cara untuk berkenalan dengan gadis itu, seperti menjatuhkan bolpoin di dekatnya, atau pura-pura mengira ia adalah teman lama, bahkan dengan pura-pura menabraknya hingga jatuh dan membantunya. Ok, yang terakhir sepertinya agak menyakitkan untuknya.
Satu minggu berlalu, aku sedang menghadapi gerombolan manusia di depanku. Bukan, aku bukan sedang di toko yang sedang diskon besar-besaran. Tapi, manusia-manusia di depanku ini sedang berebut melihat pengumuman pendaftar yang lulus di sekolah ini. Brutal sekali mereka, ada yang saling sikut, dorong-dorong, ingin melihat nama masing-masing di papan pengumuman itu. Aku yang tak ingin mengambil resiko, memilih menunggu gerombolan itu bubar dan melihat pengumuman itu dengan tenang. Aku duduk di taman sekolah. Melihat gerombolan itu dari jauh.
“Tidak lulus, tidak lulus.” Aku menoleh kearah asal suara itu, gadis yang waktu itu, ia tidak sedang tersenyum tapi menangis sambil menunduk. Aku melihat air mata jatuh membasahi rok yang dipakainya.
Apa? Dia tidak lulus di sekolah ini? Ah, kenapa aku ikut resah begini? Ya, karena tangisannya itu membuat ku gelisah, tak tenang. Aku berdiri, ingin menghampirinya. Tiba-tiba, ia berlari ke gerbang. Entah apa yang merasukiku, aku mengejarnya dan mendapati dia ada dalam pelukan seorang laki-laki dan masuk ke mobil lalu pergi. Ok, ini hari yang buruk buatku. Gadis yang ingin ku lindungi senyumannya, memberiku tangisan hari ini karena tidak lulus, dan ia dipeluk oleh laki-laki lain. Hancur sudah persiapan perkenalanku dengannya. Dengan langkah gontai, aku menyeret kaki ke arah papan pengumuman yang sudah mulai sepi. Mencari namaku, dan, aku lulus. Aku tersenyum tipis, tidak ada rasa senang yang menyambangiku. Harusnya aku senang bukan?
Beberapa hari berlalu, hari ini hari pertama aku masuk sekolah. Aku tak bersemangat. Om Beni mengantarku ke sekolah.
“Jadikan sekolah ini awal yang baik untuk masa depanmu, Ram.” Katanya sambil mengepalkan tangan kanannya ke arahku. Aku menanggapinya dengan senyuman lesu.  Aku sudah berusaha melupakan gadis itu, tapi tak bisa. Setelah upacara, kami menerima pembagian pembagian kelas, aku ditempatkan di kelas X-3. Aku bergegas ke kelas, karena di dalam kelas sudah ada wali kelas yang menunggu. Aku duduk di barisan paling depan. Setelah semuanya datang, buk Aini, wali kelas kami menyuruh memperkenalkan diri. Aku mendapatkan giliran ke-3.
“Rama Prasetyo. dari SMP Harapan Jaya.” Aku memperkenalkan diri. Setelah itu, iseng-iseng aku memperhatikan teman-teman sekelasku yang sedang memperkenalkan diri. Ada beberapa dari sekolah lamaku.
“Sera Dharmawan. SMP N 21.” Ia ada disini, gadis itu. Namanya Sera, Sera Dharmawan. Di sekolah ini, di kelas ini, di belakang ku. Hari itu, waktu terasa berlalu sangat cepat. Hari-hari berlalu dengan cepat. Aku sudah berteman dengan Sera, tak perlu taktik macam-macam untuk berkenalan dengannya, Sera gadis yang ramah dan baik hati. Kami berteman, bertukar nomor handphone, berbagi cemilan saat istirahat, berjalan bersama ke laboratorium, belanja bareng di kantin. Oh iya, Sera menceritakan kejadian saat pengumuman itu, Dina, temannya, tidak lulus di sekolah ini. Dan yang memeluknya itu kak Eki, kakaknya. Aku hanya menanggapi cerita itu dengan tersenyum, mengingat betapa bodohnya aku merasa hancur hari itu dan ternyata orang tua Sera sudah meninggal sejak Sera kecil, Sera dan kak Eki diasuh oleh kakek dan neneknya tapi setahun lalu mereka meninggal karena kecelakaan, dan kak Eki sendiri belum menikah, mengingat ia masih harus bertanggung jawab sebagai wali sera. Di sekolah, kami selalu bersama, dimana ada Sera, disitu ada aku.
Saat menginjak kelas 2, aku merasa perasaanku bergetar, ada perasaan marah saat Sera didekati oleh laki-laki bernama daniel. Dia senior kami, Sera menanggapinya. Pada jam istirahat, laki-laki itu datang ke kelas untuk berbincang dengannya, atau hanya sekedar mengatakan “cuaca hari ini cerah ya!”
Aku dan Sera mulai jauh sejak ada Daniel. Selama Sera tersenyum, tak masalah ia berteman dengan siapa saja. Tapi, se-ikhlas apa pun aku membiarkan Sera didekati oleh Daniel aku masih belum bisa terima. Kadang aku merasa marah, kadang mencoba cuek dan sayangnya tidak berhasil. Mataku selalu mengawasi mereka di kelas. Tak lama setelah Daniel mendekati Sera, peristiwa yang membuatku tersadar akan perasaanku kepada Sera pun terjadi. Di pintu toilet, aku tak sengaja mendengar percakapan yang membuat hatiku panas.
“Sera bagus juga tuh, masih bening, jomblo juga. Lo masang berapa?” Rasanya suara ini ku kenal.
“Hmm, lumayan juga target lo. Gue pasang satu juta, lo berapa?”
“Sama aja. Lusa, dia udah ada di ranjang gue. Hahahaha.”
Mendengar ini, emosiku meledak, aku yang sedari tadi menguping pembicaraan mereka langsung menyerang salah satu dari mereka, memukulnya tepat di wajah. Beberapa saat, aku sadar, orang yang ku pukul itu adalah senior yang mendekati Sera, Daniel.
“Bangsat, kurang ajar lo!” kataku sambil terus memukul laki-laki itu. Kami bergumul, temannya yang satu lagi mencoba menarikku. Aku meronta, dan memukulnya juga. Tiba-tiba, aku merasakan ngilu di perutku, diikuti rasa perih, sakit yang semakin lama semakin menggila diikuti darah yang membasahi seragamku.
“Apa-apaan ini?” tiba-tiba seorang guru datang. Aku tak sadarkan diri.
Aku terbangun di sebuah ruangan serba putih, dan om Beni, berdiri di samping tempat tidur. “Kamu sudah sadar jagoan?” Kata Om Beni sambil mengacak-ngacak rambutku. Entah sejak kapan kebiasaannya mengacak-mangacak rambutku menjadi salh satu favoritnya
“Om, kenapa Rama disi.. aduh.” Perutku terasa sakit sekali.
“Kamu kan tadi berantem di sekolah. Dan salah seorang dari lawanmu itu menusukmu dengan pisau. Apa tidak ingat?”
Aku kembali mengingat kejadian di sekolah tadi. Ya, aku ingat betapa aku ingin membunuh laki-laki yang ingin melakukan hal tidak baik pada Sera. Sera, oh tidak. Apa tanggapannya mendengar aku berkelahi, dengan orang yang mendekatinya. Ia pasti akan menghindari ku.
“Om tahu, kamu adalah orang yang tidak sembarangan berkelahi dengan orang lain. Kamu orang yang sabar. Hal yang membuat kamu seperti ini, pasti hal yang sangat penting kan?”
“Mama papa mana, om? Mereka belum pulang dari luar negeri?” Kataku berusaha mengalihkan pembicaraan.
“Rama!” suara itu mengejutkanku. Gadis itu tiba-tiba memelukku sambil menangis. Sera.
“Aduduh.” Kataku sambil memegang perut.
“Maaf.” Katanya sambil melepaskan pelukan itu. Ah, rasa sakit ini tidak tahu saat yang tepat. Aku hanya meringis. Sera mengusap air matanya.
“Ok, Ram. Om keluar dulu ya.” Kata om Beni sambil mengacak-acak rambutku lagi, dia tersenyum, “Kamu sudah besar.” Katanya sambil berlalu.
“Sera, aku..”
“Kamu bodoh, kenapa harus berkelahi. Tanpa kamu berkelahi pun aku tidak akan jatuh ke pelukan buaya darat itu. Aku tahu apa yang ku lakukan, Ram.” Katanya sambil memukul lenganku.
“Ma, maksudmu?” Aku bingung arah pembicaraan ini kemana.
“Kamu menghajar Daniel itu karena kamu tahu rencana dia terhadapku kan?”
Aku mengangguk, mulai mengerti apa yang dimaksud Sera, “Kamu tahu darimana?” Tanyaku heran.
“Aku pernah mendengarnya menjadikanku bahan taruhan dengan teman-temannya.” Kata Sera sambil duduk dan merapikan rok yang dipakainya. Wajahnya muram.
“Lalu kenapa kamu tak menjauhinya?” Tanyaku dengan sedikit emosi. “Kamu tidak tahu perasaanku bagaimana saat mendengar namamu dibawa-bawa ke dalam hal hina seperti itu, kamu tidak tahu bagaimana perasaan bersalahku membiarkan dia mendekatimu!” Kata ku setengah berteriak. Sera melihatku dengan tatapan terkejut, sekilas ia tersenyum.
“Sengaja. Aku ingin memanfaatkannya.” Katanya sambil menunduk.
“Apa maksudmu? Apa kau tak bisa memakaiku saja? Kenapa harus membuat dirimu masuk ke dalam bahaya?” Aku mulai marah padanya. Ia tiba-tiba berdiri.
“Bagaimana mungkin aku memakaimu, kau bahkan tak sadar perasaanmu padaku! Rama bodoh!” Katanya sambil berjalan ke arah pintu. Apa maksudnya? Aku berusaha turun dari tempat tidur ingin mengejarnya. “Sera, tunggu. Aaah..” Aku terjatuh, lukaku semakin terasa nyeri. Sera segera menghampiriku, membantuku kembali ke tempat tidur. Sesaat, kami hanya diam. “Maaf, tadi aku tak bermaksud bicara seperti itu padamu. Aku, terbawa emosi. Dan, aku tak mengerti yang kau bilang tadi.” Kataku memecah sunyi diantara kami. “Apa kau mau menjelaskannya?”
Sera hanya diam, ia tersenyum. “Aku ingin tahu bagaimana perasaanmu padaku. Aku ingin melihat apakah kau cemburu saat aku didekati laki-laki lain. Saat itu Daniel datang, tapi kau tetap tidak menunjukkan perubahan apa pun padaku. Kau teman yang baik. Aku sangat bodoh. Maaf sudah membuatmu khawatir.” Katanya.
“Sera, aku..”
Belum sempat aku berbicara, ringtone handphone Sera berdering. Ternyata kakaknya sudah menjemput.  “Aku pulang dulu, kakak sudah di bawah.” Katanya. Aku mengangguk. “Hati-hati di jalan.” Sera pun pergi. Aku merenung. Perasaanku padanya, aku sadar. Ya, aku menyayanginya, bukan sebagai teman, tapi aku ingin memilikinya, melindunginya. Aku mencintainya.
Setelah rawat inap beberapa hari, aku mendapat kabar dari teman sekolahku bahwa Daniel dan temannya sudah berurusan dengan polisi, dan aku diizinkan pulang ke rumah, luka ku belum sepenuhnya pulih, tapi selama aku tidak melakukan kegiatan yang membuat lukaku memburuk, aku akan baik-baik saja. Setelah menjenguk ku saat itu, Sera tak pernah lagi menemuiku. Mungkin ia marah padaku, ah, entahlah. Aku pun tak berani menghubunginya, takut akan menambah buruk suasana ini. Aku duduk di tempat tidur, memperhatikan pembantuku, mbak Sari yang sedang membereskan barang-barang dari rumah sakit. “Mas, baju ini di buang aja, ya.” Katanya sambil memperlihatkan baju berlumuran darah padaku. Baju saat aku ditikam. Tiba-tiba sesuatu terlintas di benakku. “Jangan mbak, tolong dilipat aja. Mau saya bawa.” Kataku sambil bergegas mengambil jaket dan tas. Aku mengambil baju itu dan memasukkannya ke tas. “Mau kemana, Ram?” Tanya om Beni sambil melonggarkan dasi dan melepas jas yang dipakainya. “Udah pulang, om?” Tanyaku tanpa menjawab pertanyaannya. Om Beni hanya mengangguk.
“Kalo gitu bisa antar Rama ke tempat teman ga, om?”
“Sera?” Kata om Beni sambil tersenyum menggoda. Aku hanya tersenyum.
“Siap. Delivery cinta ke rumah Sera. Ayo.” Kata om Beni menepuk pundakku.
Tidak beberapa lama kemudian, kami sudah sampai di depan rumah Sera. Aku segera menelepon Sera, memintanya keluar sebentar. Aku keluar dari mobil, “Om ngisi bahan bakar dulu ya, Ram.” Kata om Beni sambil mengedipkan mata. “Semangat!” Katanya. Aku tak begitu mengerti apa maksudnya. Sera membukakan pintu pagar, dan mengajakku masuk ke rumah. Aku menolaknya. Akhirnya, kami duduk di taman rumahnya. “Ada apa malam-malam gini, Ram?” Tanyanya sambil duduk di ayunan. Perasaanku tak keruan saat melihatnya. Berdebar-debar. Malu.
“Mmmh... Aku..” Aku terbata-bata, tak bisa menguasai diri.
“Rama, maaf. Aku tidak menjengukmu setelah hari itu. Aku..” Ia tak melanjutkan pembicaraanya. Aku mengeluarkan baju berdarah yang ku bawa dan memberikan kepadanya.
“Aku.. Ini bukti perasaanku padamu, Sera. Aku menyayangimu. Bukan sebagai teman. Aku sadar betapa bodohnya aku, berharap kau akan bahagia dengan laki-laki lain. Padahal, aku mencintaimu. Apa kau mau menjadi pacarku?” kataku padanya. Aku merasa wajahku memanas. Sudah ku katakan semuanya.
Sera hanya diam, ia mengambil baju itu. Tak ada senyuman di wajah manisnya itu. Aku takut ia marah padaku. Bodohnya aku.
Ia pun berbalik, “Sudah malam, waktunya kamu pulang.” Katanya sambil berjalan ke gerbang. Aku hanya mengikutinya. Saat ia menutup pintu gerbang, ingin sekali aku merobohkan gerbang itu, menghancurkan pembatas diantara kami dan memintanya menjawab perasaan itu. Aku berbalik, mencari keberadaan mobil om beni.
“Rama.” Panggil Sera.
“Ya?” Kataku, aku terkejut, ia masih ada disana.
“Seorang laki-laki akan menjemput pacarnya saat pergi sekolah. Apa kau akan menjemputku besok?” Katanya, ia tersenyum.
“Ya, pasti.” Kataku. Aku membalas senyumannya. Ingin sekali aku memeluknya, tapi berhubung ada gerbang ini, batal deh. Ia masuk ke rumahnya. Dan aku, berjalan gontai ke mobil om beni. Membayangkan, betapa indahnya dunia ini. Aku tersenyum. “Indahnya masa muda.” Kata om Beni. Tak aku pedulikan. Tampaknya ia sangat senang menggodaku.
Esok paginya aku menjemput Sera, ia tersenyum manis padaku. Senyuman itu, senyuman yang ingin selalu ku jaga. Senyuman orang yang aku cintai.
Dimulailah hari-hari penuh cerita tentang kami. Menjemputnya, mengerjakan tugas bersama, aku berkenalan dengan keluarganya, pergi menonton film ke bioskop, memetik strawberi di kebun kecilnya, jalan-jalan ke pantai, Sera sangat suka pantai, karena itu sekali sebulan kami pergi ke pantai, makan malam bersama, aku suka masakan Sera, dia pintar sekali memasak, dia selalu bilang, “Kalau Rama makannya lahap kayak gitu, saat kita menikah nanti, aku akan selalu memasak untukmu.” Ya, aku hanya ingin dia yang menjadi istriku. Saat menginjak kelas 3 SMA, kami mulai bersiap untuk ujian akhir. Kami memilih universitas yang sama, aku berencana akan melanjutkan ke fakultas hukum dan Sera ingin ke fakultas kedokteran.
Kisah kami mulai diuji Tuhan. Setelah selesai ujian akhir, kelas 3 berencana mengadakan jalan-jalan ke pantai. Sera sangat bersemangat saat kami membicarakannya. Tapi, sehari sebelum pergi jalan-jalan, Sera dirawat di rumah sakit, ia terkena Anemia. Aku ingin sekali menemaninya di rumah sakit, tapi bukan Sera namanya kalau suka dikasihani. Ia menyuruhku mengambil foto-fotoku dan teman-teman di pantai. Juga foto sunset, Sera menyukai sunset, tapi kami belum pernah melihat sunset bersama-sama, karena selalu takut pulang kemalaman.
Di sepanjang perjalanan, aku hanya memikirkan kekasihku yang sedang ada di rumah sakit. Aku tak bisa meneleponnya, karena handphonenya ada di tangan kak Eki. Aku mencoba menjalankan amanat dari Sera dengan mengambil foto-foto bersama teman-temanku. Tapi, tanpa Sera di sisiku, aku benar-benar hampa. Aku mengambil foto sunset, hanya sunsetnya saja. Pikiran ku hanya tertuju pada Sera.
“Andaikan kau ada disini.” Gumamku.
Esoknya, aku segera mencetak foto-foto yang kemarin ku ambil dan bergegas ke rumah sakit. Aku memberikan foto-foto itu pada Sera. Ia sangat bersemangat membahas foto-foto itu.
“Ah, andaikan aku ikut.” Katanya.
“Ya, andaikan kau ada disana.” Kataku menimpalinya, tersadar perkataan ku hanya membuat suasana buruk, aku segera mengelus pipinya, “Tapi kita akan melihat sunset bersama-sama nanti. Janji.” Kami tersenyum.
Sudah 1 bulan, Sera masih di rumah sakit. Dan aku, selalu ke rumah sakit untuk menemaninya, dan kami belajar bersama. Tapi berbulan-bulan kemudian, Sera mulai tak bersemangat. Aku sudah ada di fakultas hukum sekarang. Aku selalu datang menemani Sera di rumah sakit, walaupun hanya sebentar.
Hari itu, aku menemukannya menangis sambil memanggil namaku, aku begitu pilu mendengarnya. Aku segera memeluknya. “Tak apa-apa, aku disini. Jangan menangis, aku disini.” Kataku. Saat itu aku sadari, badan Sera mengecil, menyusut, ia makin kurus. Aku mengelus pipinya, ada cekungan disana. Sera ku yang ceria, memudar, tenggelam di balik kesedihannya.
“Ada apa?” tanyaku.
“Aku sudah muak dengan semua ini. Aku tak akan sembuh, semakin aku diobati, semakin sakit rasanya, aku jadi sering mimisan, tidak nafsu makan, selalu merasa mual, dan rambutku rontok. Rama..” katanya sambil menangis mengeratkan pelukannya. Aku terpaku, bukan tangisannya, tapi karena ucapannya. Sera ku berputus asa. Apa benar ia hanya anemia. Banyak pertanyaan yang berseliweran di benakku. Setelah menenangkan Sera, dan memastikan ia sudah tidur, aku segera mendatangi kak Eki di ruangannya. Kak Eki bekerja sebagai dokter di rumah sakit ini.
“Ada apa, Ram? Dari kamar Sera?” Katanya sambil tersenyum, tapi aku tahu senyuman itu dipaksakan.
“Ya.” Jawabku sekedarnya saja. “Kak, sebenarnya Sera sakit apa?” Aku bisa melihat selintas wajahnya tegang, tapi, ia kembali memasang senyum palsu itu di wajahnya.
“Anemia.” Jawabnya sambil mebaca beberapa dokumen, aku tahu itu hanya untuk mnegalihkan ketegangannya.
“Leukimia.” Kataku. Dokumen itu terjatuh dari tangannya. Terlihat air mata menggenang di pelupuk matanya. Ya, Tuhan, aku berharap ia berkata, aku bercanda dan menegaskan Sera hanya anemia. Tapi, ekspresinya itu memupuskan harapan ku.
“Stadium berapa?” Tanyaku.
“Akhir.” Katanya. Air mata itu jatuh satu persatu. Aku kalut, apa artinya ini semua. Kenapa kak Eki tak pernah memberitahuku. Aku tahu ia sudah berusaha kuat, dan ia telah mencoba.
“Berapa lama lagi?”
“Tak kan lama lagi.” Katanya sambil menangis, tangisan yang sama dengan tangisan yang ku terima dari Sera, tangisan putus asa. Aku tak tahu harus bagaimana. Keluar dari ruangan kak Eki, aku pergi membeli bunga mawar putih dan cokelat putih kesukaan Sera, air mataku menetes saat didepan pintu kamar Sera. Aku menghapus air mataku, aku harus kuat. Untuk Sera, untuk diriku sendiri, untuk kami. Ku lihat Sera sedang membaca majalah.
“Majalah dari mana, sayang?” Tanyaku masih menyembunyikan mawar dan cokelat yang kubawa. Sera melihatku dengan tatapan aneh. “Ada apa?” Tanyaku. Ia tersenyum. Senyuman yang manis.
“Kamu yang kenapa, tumben manggil ‘sayang’. Itu yang di balik punggung apa?” Tanya Sera. Aku hanya tersenyum dan memberikan mawar dan cokelat putih itu kepada Sera.
“Aaa.. makasih, Rama.” Katanya sambil menggenggam tanganku. Aku merasakan jari-jari kurus itu menggenggam tanganku. Aku segera mengalihkan perhatianku, mengambil vas bunga dan menggantinya dengan mawar yang kubawa. Sera tersenyum. “Kamu suka, sayang?” tanyaku. Ia mengangguk sambil membuka cokelat yang ada di tangannya. “Rama, mmmh.. sayang, sini. Duduk disini.” Katanya sambil menarik tanganku. Aku duduk di sisi kanan tempat tidur Sera. Ia mengambil cokelat itu dan memberikannya padaku. “Buka mulutnya.” Katanya. Ia kembali ceria, Sera ku kembali. Malam itu, aku pulang setelah memastikan Sera sudah tidur. Perasaanku benar-benar kalut, saat membayangkan Sera akan pergi dariku, dan aku terlelap dalam tangisan.
Saat aku selesai mandi, aku membaca SMS dari teman sekelasku, hari ini tak ada kuliah. Aku pun melihat kalender. Lusa, tanggal 17, Sera berulang tahun. dan esok harinya, tanggal 18, aku yang ulang tahun. Aku sudah menyusun rencana untuk ulang tahun kami, aku akan mengajak kak Eki dan om Beni untuk merayakannya. Kami akan memberinya pesta kejutan. Pasti akan menyenangkan. Aku pergi membeli hadiah untuknya ulang tahunnya. Cincin, Sera pernah mengajakku membeli cincin pasangan, tapi, aku merasa itu kekanak-kanakan, aku juga ingat Sera pernah meminta ku memanggilnya dengan panggilan ‘sayang’, tapi setelah mengucapkan itu kami berdua sama-sama malu dan sepakat itu adalah perbuatan bodoh. Tapi, sekarang sekalipun hal itu aku anggap kekanak-kanakkan atau pun bodoh asalkan bisa membuat Sera tersenyum, akan kulakukan. Aku mendapatinya sedang tertidur sambil memegang majalah di tangan kanannya. Aku mengambil majalah itu, dan mendapati foto sunset yang kuambil dulu terjatuh dari majalah itu.  Aku teringat janji kami untuk melihat sunset bersama-sama. Aku langsung mencari kak Eki di ruangannya. Harus antri karena ini masih jam kerja. Aku pun meneleponnya, meminta ia keluar sebentar, aku menunggunya di parkiran. Tak lama kemudian ia datang.
“Kak, Rama mohon. Izinin Rama bawa Sera pergi lusa.” Kataku tanpa basa basi.
“Tidak mungkin. Sera tak akan bertahan, Ram.” Katanya.
Aku segera menunjukkan foto sunset tadi, dan menjelaskan betapa inginnya Sera melihat sunset itu denganku. Aku berlutut kepada kak Eki, memohon ia mengizinkan kami pergi. Kak Eki, akhirnya menyetujui dengan syarat, ia akan mengikuti kami dari belakang. Aku sangat senang dan bergegas kembali ke Sera.
“Bahagiakan dia disaat terakhirnya, Ram.” Gumam kak Eki.
Setibanya di kamar Sera, aku bercerita tentang rencana ku mengajaknya pergi. Awalnya ia sempat ragu, tapi karena tahu kak Eki mengizinkan, ia pun akhirnya menyetujui dan ikut bersemangat membahas apa saja yang akan kami bawa untuk menikmati sunset nanti. Setelah menemani Sera seharian, aku membeli perlengkapan yang akan kami bawa dan meminta izin kepada Om beni untuk meminjam mobilnya, karena tak mungkin mengajak Sera dalam keadaan seperti itu untuk naik sepeda motor.
Hari yang kami nanti-nanti tiba, kami berangkat pada jam 3 sore. Kak Eki yang membawa Sera ke lobi rumah sakit, dan tanpa sepengetahuan Sera tentunya, ia akan mengikuti kami. Sera berpamitan pada kakaknya, mencium pipi kak Eki seraya berkata, “Terima kasih, kak. Sera sayang, kakak.” Mendengar itu hatiku terenyuh, aku membayangkan apa yang dirasakan oleh kak Eki, tapi aku segera menghilangkan pikiran itu dan fokus pada rencana hari ini.
Selama di perjalanan menuju pantai, Sera hanya sedikit berbicara, ia hanya bicara saat melihat pemandangan yang menarik atau saat kami melewati tempat-tempat yang memiliki kenangan. Selebihnya ia tidur. Perjalanan ke pantai memakan waktu 2 jam, aku merasa bahagia, karena akhirnya kami bisa melihat sunset bersama. Tak berselang satu jam lagi.
Di tengah perjalanan, Sera mimisan, walau hanya sedikit, tapi aku sangat panik, dan memberikan sapu tangan, tisu, handuk, apa pun yang dapat menghapus darah itu kepadanya.
“Kita balik aja ya, sayang.” Ajakku yang khawatir melihat Sera menghapus darah yang menetes dari hidungnya.
“Tidak, kita harus segera kesana, Ram. Aku tak tahu kapan lagi kita bisa pergi seperti ini. Jangan kembali.” Katanya membujukku dengan nada memelas. Lalu, akhirnya kami melanjutkan perjalanan.
Sesampainya di pantai, aku mempersiapkan tempat untuk kami, Sera tertawa melihat aku mengejar-ngejar selimut yang diterbangkan angin. Sera ku kembali tertawa. Setelah persiapan selesai, bertepatan dengan turunnya matahari, aku dan Sera duduk berdampingan menikmati desiran ombak dan sinar matahari yang mulai memerah. Kami merayakan ulang tahun Sera dengan menyalakan lilin yang selalu mati tertiup angin, menyanyikan lagu ulang tahun, pura-pura meniup lilin yan memang tidak menyala dan memotong kue ulang tahun. Ia terlihat sangat senang. Aku menggenggam jemarinya, lalu memasangkan cincin di jari manisnya.
“Happy birthday, sayang.” Kataku sambil mengecup lembut jari manisnya. Ia tersenyum malu, wajahnya memerah. Ia sangat cantik, manis. Sera ku sangat manis. Ia bersandar di pundakku, “Aku bahagia sekali, Ram.. sangat bahagia.” Katanya setengah berbisik. “Aku juga sangat bahagia.” Balasku sambil menggenggam tangan itu lebih erat. Aku berharap waktu berhenti sekarang, membiarkan kebahagiaan ini untuk selamanya.
“Tuhan, aku hanya ingin membahagiakan orang yang ku cinta. Apa pun yang terjadi aku hanya ingin bersamanya. Bantu kami melewati ini, Tuhan. Berikan keajaibanmu.” Doa ku dalam hati.
 Tapi, kebahagiaan itu tak berlangsung lama. Beberapa menit kemudian, Sera mimisan, darahnya mengucur sangat banyak. Sapu tangan yang ku berikan tak cukup membendung darah yang keluar itu, aku melepas baju ku dan memberikannya pada Sera, “Tunggu sebentar disini. Bertahanlah.” Kataku menutupi kegugupan. Aku segera berlari mencari kak Eki, mobilnya parkir tak jauh dari tempat kami duduk.
“Kak!” teriakku memanggilnya. Melihat ekspresi ketakutan yang ada di wajahku, kak Eki langsung mengambil tas dokternya. Berlari, mengikuti ku ke tempat Sera.
Sera tertidur memeluk bajuku, bukan tidur. Dia pingsan. Kak Eki segera memeriksanya dan kami membawanya ke rumah sakit terdekat. Aku ke toilet, membersihkan darah yang ada di tubuhku saat membawa Sera kemari dan kembali ke ruang tunggu. Ku harap Sera dapat bertahan, ku harap ia akan baik-baik saja. Kak Eki menemani ku di ruang tunggu.
“Apa kau perhatikan? Ia tidur dengan tersenyum.” Kata kak Eki mengusap air matanya.
Dokter yang memeriksa Sera keluar, kak Eki berbicara dengannya di sudut ruangan, melihat ekspresi kak Eki, aku tahu ini bukan pertanda baik.
“Bersiaplah, ia lebih membutuhkanmu sekarang.” Kata kak Eki sambil menunduk.
Aku melangkah dengan kaku ke ruangan Sera, memakai baju steril.  Melihatnya tergeletak lemah di tempat tidurnya, membuat ku tak kuat untuk berkata-kata. Aku sempat menghujat Tuhan, betapa tak adilnya hidup ku dan Sera, kenapa ia harus mengambil Sera dari ku? Kenapa Sera harus menderita seperti ini? Kenapa harus Sera? Kenapa harus kami? Tapi, aku sadar Tuhan tahu yang terbaik untuk aku dan Sera. Tuhan tahu segalanya.
“Rama, itu kamu?” kata Sera sambil menjulurkan tangannya ke arahku. Aku meraih tangan kecil itu. “Ya, aku disini.” Kataku berusaha agar suaraku tak terdengar bergetar.
“Maafkan aku.” Katanya lagi.
Aku tak tahu harus bicara apa, saat-saat sebelumnya aku memikirkan kata-kata untuk menguatkannya, tapi sekarang, aku hanya ingin dia tenang.
“Kamu cantik, cantik sekali.” Kataku mengelus rambutnya.
Ia menangis terisak. “Jangan menangis, aku disini.” Kataku menggenggam jemarinya.
“Rama, aku...ingin ...memasak untukmu....Aku ingin...” Katanya terbata-bata karena nafasnya yang sesak. Aku tak kuat lagi membendung air mataku.
“Ya, kau akan memasak untukku nanti, aku menyukai masakanmu, nyanyianmu saat memasak, ekspresimu saat aku mencoba masakan itu, kita akan memetik strawberi lagi, menonton film di bioskop dan yang jelas besok kau akan memberikanku kado ulang tahun. Sekarang kau harus tenang. Jangan menangis.” Ia tersenyum mendengar kata-kataku.
“Rama, kamu dimana?” ia menggapai-gapai tanganku, padahal aku sedang menggenggam tangannya.
“Aku disini, disini.” Kataku mengambil tangan itu dan menciumnya.
“Syukurlah.” Katanya, air matanya jatuh, ia tidur, tersenyum.
“Sera, Sera.” Panggilku dengan serak. Ia tak membalas panggilanku.
“Sayang.” Kataku menggoyangkan tangannya. Suara “bip” panjang di ruangan itu tak ku hiraukan. Aku ingin berteriak, tapi suaraku tak ada yang keluar. Aku hanya dapat menangis.
Esoknya, di acara pemakaman Sera, aku membawa bajuku yang berlumuran darah Sera kemarin. Setelah orang-orang pergi. Aku berlutut di dekat makamnya, mengelus lembut nisannya, “Sera, hari ini ulang tahunku. Kau memberikan ku hadiah yang tak akan terganti.” Air mataku jatuh satu persatu membasahi baju yang tengah ku pegang.“aku sadar, aku belum pernah hidup di dunia yang tak ada kamu, dan saat itu aku kuat.”
“Rama...” Sera memanggilku, aku tahu itu suaranya. Ia pasti tak ingin aku seperti ini. Sera ku yang manis tak akan suka melihatku seperti ini. Ia akan marah, mencubit lenganku. Aku harus kuat.  “Aku mencintaimu, selalu mencintaimu.” Bisikku,
Aku berbalik, melangkah pergi dari makam Sera. Dan masih ku dengar suaranya memanggilku dengan lembut. Aku melangkah ke masa depanku, bersama cinta yang akan selau ku jaga.
5 tahun setelah itu, aku berkenalan dengan Naya, sama seperti Sera, ia gadis yang ceria. Kami bertemu saat acara pernikahan temanku. Aku mencoba untuk membuka hatiku padanya, ia menyayangiku, aku tahu itu. Tapi, aku tak bisa menghilangkan perasaanku pada Sera. Aku masih mengingatnya.
Dua tahun berlalu, aku dan naya memilih untuk menjalani hubungan yang serius. Aku merasa ini yang terbaik. Kami akan melanjutkan ke jenjang pernikahan, tapi aku harus mengutarakan yang sebenarnya pada Naya. Dan sekarang, gadis itu terpaku diam di depanku.
“Aku mencintaimu, Rama.” Katanya menggenggam tanganku. Ia tersenyum, dan aku seperti mendengar suara tawa Sera. Ya, Sera akan bahagia untukku. Aku membalas genggaman itu dan menggandengnya. Kami melangkah pergi, melangkah menuju masa depan.